Apakah
kecemasan harus dihindari dalam olahraga, khususnya dalam olahraga prestasi ?
atau justru sebaliknya, apakah kecemasan justru dibutuhkan dalam olahraga ?
Kenyataannya, para ahli psikologi olahraga justru menyebutkan kecemasan sebagai
salah satu faktor yang penting untuk menunjang penampilan olahraga yang
maksimal. Nah, saya akan membahasnya dalam artikel ini.
Teori-teori
tentang kecemasan (Anxienty) berhubungan dengan teori tentang Arousal. Arousal
yaitu dimana kondisi seseorang teraktivasi untuk siap menghadapi stimuli.
Kondisi arousal ditandai dengan aktifnya RAS (reticular activation system —
sistem saraf yang aktif saat berada dalam kondisi siap atau terbangun), sistem
saraf otonom dan sistem endokrin. Gara-gara aktnya sistem-sistem ini, maka
detak jantung meningkat, tekanan darah meningkat, indera-indera menjadi
*siaga*, dan tubuh berada dalam keadaan siap untuk beraksi. Sebenarnya, arousal
ini sangat penting karena mengatur kondisi kesadaran, perhatian dan dalam
berpikir. Arousal juga berperan dalam kita memutuskan melawan-atau-lari saat
menghadapi sesuatu yang mengancam. Hanya saja, bebagai level Arousal yang
dikombinasikan dengan berbagai situasi, akan menciptakan kondisi mental yang
juga berbeda-beda. Ini dia yang behubungan dengan kecemasan.
Kecemasan
sendiri adalah kondisi fisiologis dan psikologis akibat rasa takut atau
tertekan karena sesuatu yang tidak pasti. Reaksinya sama dengan arousal, yaitu
naiknya detak jantung dan tekanan darah, tubuh berkeringat, ingin pipis, dsb.
Kalau dihubungkan dengan Arousal, kecemasan sebanarnya adalah tanda bahwa tubuh
kita siaga. Hanya saja kecemasan adalah *label negatif* yang kita berikan pada
arousal (ingat teori Cannon-Bard tentang emosi), karena kecemasan biasanya
muncul saat ada ancaman atau bahaya. Pada beberapa kasus, kecemasan dapat
menjadi terlalu berlebihan sehingga muncul gejala fisiologis yang mengganggu,
seperti pingsan, muntah-muntah, badan menjadi kaku, sakit perut, dan
sebagainya.
Dalam
olahraga, kecemasan ini muncul biasanya kalau kita berpersepsi bahwa kemampuan
kita rendah, tetapi tugas atau tantangan yang dihadapi tinggi (low level skill
– high challenge). Misalnya, pada atlit amatir yang keterampilannya masih
rendah (low level), tetapi ia dibebani untuk menang, menghadapi lawan yang
levelnya lebih tinggi, atau enghadapi skala pertandingan yang levelnya terlalu
tinggi (high challenge), maka PASTI akan muncul kecemasan.
Nah,
kecemasan sendiri memiliki tiga komponen, yaitu emosi, kognisi dan peirlaku.
Emosi berkaitan dengan perasaan negatif yang muncul. misalnya, perasaan takut,
tertekan, tidak enak, tersiksa, ingin melarikan diri dsb. Kognisi, berkaitan
dengan pikiran negatif yang muncul. misalnya “rasanya saya tidak bisa main hari
ini”, “saya tidak akan selamat melawan dia”, “waduh, saya pasti dihajar”, “saya
pasti kalah”, dan berbagai pikiran negatif lainnya. Kecemasan selalu berhubungan
dengan self-talk yang negatif. Ketiga, perilaku. Biasanya orang yang merasa
cemas menunjukkan perilaku tertentu, misalnya gugup, tidak bisa tidur, gemetar,
berjalan mondar-mandir, dsb. Pada atlit profesional sekalipun, mereka juga
merasa cemas, tetapi bedanya mereka bisa mengontrol kecemasan tersebut sehingga
tidak terlalu mempengaruhi perasaan, pikiran maupun perilakunya. Mereka tahu
bahwa rasa cemas adalah pertanda mereka siap mengehadapi perlombaan, dan
mengolahnya menjadi kewaspadaan/kesiapan menghadapi lawan (Ingat Arousal).
Nah, tahun
1908 Yerkes dan Dodson mengeluarkan teori Inverted U tentang hubungan antara
Arousal dengan Penampilan (performance). Dalam Yekes-Dodson law Inverted-U ini,
dikatakan bahwa meningkatnya Arousal akan juga diikuti meningkatnya Penampilan,
tapi hanya pada sampai titik tertentu. Ketika Arousal terlalu tinggi,
penampilan akan menurun. Berbagai penelitian selanjutnya memperkuat teori ini,
termasuk penemuan bahwa meningkatnya arousal juga mirip dengan peningkatan
hormon yang dikeluarkan saat stress (glucocorticoids). Tetapi, sebenarny
Inverted U ini hanya berlaku untuk tugas-tugas yang hasilnya unpredictable
seperti dalam olahraga tanding. Namun untuk tugas-tugas sederhana yang bisa
dipelajari dengan mudah, arousal berbanding lurus dengan penampilan.
Nah, tidak
semua olahraga hasilnya bisa diprediksi. Maka muncullah saingan dari Inverted
U, yaitu Drive theory. Dalam drive theory, penampilan berbanding lurus dengan
arousal. Semakin tinggi arousal atau kecemasan, semakin baik penampilan. Teori
ini diperkuat oleh Clark Hull yang mengatakan bahwa peningkatan arousal sama
dengan kemunculan motivasi atau adanya konsekuensi akibat perilaku. Argumentasi
terhadap Drive theory ini karena ada beberapa cabang olahraga yang memang
membutuhkan arousal tinggi agar penampilannya semakin baik, contohnya tinju.
tetapi, teori ini tidak terlalu didukung oleh para ahli psikologi.
Catastrophe
theory (Hardy, 1987) muncul dan mirip dengan teori Inverted U. Bedanya,
pada Catastrophe theory ini ada arousal minimum dan maksimum yang harus
dimiliki oleh atlet untuk berperforma maksimal. Kalau dilihat kurvanya, memang
tidak jauh beda dengan Inverted U.
Teori
terakhir yang akan dibahas adalah teori tentang Optimum Functioning Zone dari
Hanin (1997), atau IZOF (Individual Zone of Optimum Functioning). Dalam IZOF
ini, penampilan individu akan maksimal bila telah memasuki “zona optimum”
arousal yang dikehendaki oleh individu tersebut. zona ini memiliki kadar
minimum dan maksimum. Penampilan atlit tidak akan maksimal bila Arousalnya
belum memasuki kadar minimum atau arousalnya melewati kadar maksimum
tersebut. Sebenarnya ini mirip juga dengan Inverted U, tetapi bedanya
bahwa dalam IZOF, fenomena ini bersifat sangat individual, atau artinya setiap
atlit memiliki “kadar maksimum” dan “kadar minimum” arousalnya sendiri-sendiri.
alias, setiap atlit memiliki IZOF-nya sendiri-sendiri yang berbeda dengan atlit
yang lain.Ini bisa dilihat dari hasil penelitian Hanin mengenai perbedaan
profil IZOF antara 3 orang atlit. Atlit A akan berperforma maksimal bila
kecemasannya tinggi, atlit B bila kecemasannya sedang, dan atlit C justru
berperforma maksimal bila kecemasannya rendah.
Dalam
penelitian termutakhir mengenai IZOF, tampaknya masing-masing cabang olahraga
juga memiliki IZOF-nya sendiri-sendiri, namun perbedaan individual tetap
terlihat. Pada penelitian kualitatif terhadap lima atlit dayung nasional, Hanin
(2000) memeperlihatkan bahwa terdapat perbedaan IZOF masing-masing individu,
yaitu pada atlit 1,2,3,dan 4 memiliki IZOF yang berbeda-beda tingkatannya.
Seorang
atlit yang sudah berpengalaman sudah mengetahui IZOF-nya, sehingga ia bisa
menaikkan atau menurunkan arousalnya (kecemasan) agar tetap berada dalam IZOF
sehingga bisa tetap berperforma maksimal. Seorang psikolog olahraga juga
bertugas untuk mencegah kecemasan seorang atlit agar tidak melewati batas yang
merugikan.
Shaw, et al.
2005. Sport Psychology ; Instant Notes. Taylor and Francis, Abingdon, UK.
http://www.qualitative-research.net/index.php/fqs/article/view/747/1618
In this manner my friend Wesley Virgin's report starts with this SHOCKING and controversial video.
BalasHapusWesley was in the military-and shortly after leaving-he discovered hidden, "MIND CONTROL" tactics that the government and others used to get everything they want.
THESE are the EXACT same methods lots of celebrities (notably those who "became famous out of nowhere") and elite business people used to become wealthy and successful.
You've heard that you use less than 10% of your brain.
That's because the majority of your BRAINPOWER is UNCONSCIOUS.
Maybe that thought has even taken place IN YOUR own head... as it did in my good friend Wesley Virgin's head 7 years back, while driving a non-registered, beat-up garbage bucket of a vehicle with a suspended driver's license and $3.20 on his debit card.
"I'm absolutely frustrated with living payroll to payroll! When will I finally make it?"
You took part in those types of thoughts, ain't it so?
Your very own success story is going to start. All you have to do is in YOURSELF.
Watch Wesley Virgin's Video Now!